***
Saya warga negara Indonesia, saya lahir di keluarga yang jadi bagian dari komunitas kultur yang juga mayor, yakni campuran Sumatera dan Jawa. Begitu pun ajaran agama yang dianut dan diyakini keluarga besar saya dari pihak Ibu ataupun ayah, meski seperti keluarga Indonesia pada umumnya, setidaknya sudah sekitar empat generasi di atas kami menganut ajaran agama Islam yang tak lain daripada agama mayoritas di negeri ini.
Tapi terlahir sebagai islam saja belumlah cukup untuk menjadikan kita sebagai seorang muslim. Dibutuhkan kesadaran dari dalam diri masing-masing untuk mengimani ajaran agama islam, begitu pun agama lainnya menurut saya. Dengan kata lain, saya adalah orang yang meyakini bahwa Tuhan, sang pemilik kuasa atas alam semesta itu ada, hakekatnya hanyalah satu untuk semua umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Agama adalah sarana beribadah kepada Tuhan yang dilembagakan sedemikian rupa oleh manusia-manusianya. untuk meyakini diri percaya kepada Tuhan, dan memutuskan beriman pada salah satu ajaran agama, bagi saya ini adalah wilayah yang sangat privat sifatnya. Tak ada satu pun manusia yang berhak memaksakan keyakinannya pada manusia yang lain, atas dasar apa pun.Setiap manusia, terlepas dari terlahir dalam keadaan apa pun, berhak untuk menentukan pilihannya untuk mengimani agama apa sebagai jalan beribadah pada Tuhan yang Maha Esa.
Nah, kebetulan saya sendiri belumlah merasa pantas menyebut diri sebagai seorang muslim, karena memang kesadaran saya akan ajaran islam masih terlampau cetek dan nyaris tidak melek. Dari segi pemahaman, hapalan, bahasa Arab, sampai pengamalan ibadahnya pun masih sangat jauh dari sempurna. Tapi memang begitulah, saya percaya setiap orang pasti berbeda-beda pengalaman spiritualnya. Ada yang dengan segera sejak masih usia bocah sudah bisa yakin agama orang tuanya adalah juga agama pilihannya, tapi ada juga yang sebaliknya, dan ada pula yang butuh proses cukup panjang sampai memasuki usia dewasa.
Termasuk saya dalam kategori ini. Boleh dibilang, hanya sampai batas sekolah SMP sajalah saya rajin sholat seperti anak-anak muslim lainnya, sedang di masa SMA saya mulai malas-malasan dan hanya kalau sedang dalam keadaan kepepet atau kebetulan saja saya bakal beribadah menurut aturan Islam. Setelah masuk masa-masa kuliah, saya makin jauh meninggalkan ajaran islam. Maklum, saat itu saya sedang lamai gegar budaya, lagi asik-asiknya berenang di kolam filsafat materialisme, sekaligus ngalamin demam keilmuan barat, bawaannya pengen jadi intelektual yang rasional, ilmiah dan atheis sajalah pokoknya.
Tapi sayang, untuk menjadi seperti itu pun saya gak kunjung sanggup.. mulailah saya berbenah diri untuk menyebut diri agnostik saja.. malas berdebat soal agama dan ketuhanan, merasa percaya pada eksistensi Tuhan, tapi mengutamakan kemanusiaan dan hal-hal keduniaan dalam kehidupan. Prinsipnya saya yakin kalau manusia menjalani kehidupan sebaik-baiknya di dunia, tidak menyakiti alam atau pun manusia lainnya, saling mengasihi dan membantu, masih terus berdoa dan memohon restu Tuhan atas apa yang kita usahakan di dunia. Bagi saya ini semua sudah merupakan wujud ibadah kepada Tuhan. Ketimbang harus masuk dalam kotak-kotak pemecah-belah umat manusia berjuluk agama itu.
Saya merasa nyaman sekali dengan klaim diri sebagai seorang manusia agnostik yang baik. Tapi sayangnya, saya masih saja labil, bukannya menjaga kebaikan dalam sikap, saya justru sering terpancing ingin memprovokasi orang lain untuk ikutan jadi agnostik kayak saya, juga sering usil menggugat kekolotan dan segala keganjilan dalam pola pikir apalagi tradisi agama orang lain. Jadilah saya sering dianggap atheis dalam pengertiannya yang buruk oleh orang-orang lain di sekitar, ah padahal saya kan sangat percaya pada Tuhan dan selalu berdoa setiap harinya, dengan cara saya sendiri tentunya. Sungguh saya dan orang-orang itu sudah saling salah mengerti.. :p
Pengalaman menarik saat beberapa bulan terakhir saya mendapat kesempatan menyertai rekan kuliah yang meneliti hak-hak ekonomi dan politik warga penghayat kepercayaan. Kebetulan di Lampung ini, komunitas warga penghayat terbesar adalah untuk ajaran Kerokhanian Sapto Dharmo (KSD). Umat atau warganya ada sekitar lebih dari 4000 jiwa, dan tersebar hampir di setiap kabupaten. Sungguh mengejutkan, karena sebelumnya saya tidak pernah menduga kalau kepercayaan yang sering ikut digolongkan sebagai tradisi kejawen ini berkembang cukup besar dan sudah sejak lama di provinsi ini. Tapi wajar saja, memang mayoritas penduduk Lampung merupakan etnis jawa karena sejak zaman kolonial Belanda dulu wilayah ini sudah dijadikan sasaran transmigrasi.
Bagi saya, Sapto Darmo adalah ajaran rohani / spiritual yang sinkretik dan khas, Indonesia Bangetlah pokoknya. Mengapa ? karena sekilas dari ajaran-ajarannya saya merasakan banyak unsur campuran dari nuansa Jawa, Nasionalisme, Islam, Trinitas Kristen, Buddha, dan Hindu. Namun, nuansa paling kental adalah unsur-unsur agama wahyu dari tradisi samawi yang bercampur dengan tradisi spiritual jawanya. Ini tampak misalnya dari konsepsi ketuhanan monoteisnya yang tak juga berwujud dan bernama Allah (cara mengejanya seperti umat Kristen), sikap spritiualnya yang anti klenik, sesaji, jimat, dan ilmu gaib. Serta keyakinannya bahwa Bapak Hardjosepuro / Panuntun Agung yang bergelar Sri Gutama itu adalah manusia suci penerima wahyu dari Tuhan, sekiranya ia hanyalah seorang rasul, bukan sosok yang disembah.
Dari sini juga saya menjadi tahu bahwa sesungguhnya Sapto Dharmo bukanlah kejawen, karena biasanya kejawen lekat dengan tradisi klenik dan mistik, serta politheis. Saya juga jadi tahu kalau ajaran yang lahir di tahun 1952 di Kediri jawa Timur ini sempat berkembang sangat pesat sebagai agama yang dianut jutaan warga negara Indonesia. Tapi segera diberangus dan dikebiri habis oleh Orde Baru pasca tragedi 1965. Jadilah mereka sekarang ini bertahan dalam kategori legal sebagai ajaran kepercayaan. Padahal jelas mereka ini sebenarnya agama baru, bukan ajaran spiritual tradisional yang sudah dianut oleh nenek moyang secara turun temurun.
Oke, lepas dari itu semua, saya bukanlah masuk golongan orang yang reaksioner soal agama. Bagi saya, terlepas dari taraf kebenaran ajaran Sapto Dharmo itu shaih atau tidak, itu bukan perkara utama, yang pokok adalah ajaran agama itu tidak menciptakan konflik berkepanjangan diantara sesama manusia. Selagi agama itu fokusnya ada pada membimbing umatnya dalam beribadah kepada Tuhan, dan mengajarkan umatnya untuk menjunjung etos hidup yang bijaksana kepada alam dan sesama manusia. Maka agama itu baik, dan keberadaannya berhak untuk tidak diusik. Begitulah saya memandang ajaran Kerokhanian Sapto Dharmo (KSD) ini.
Dalam beberapa kali kesempatan mengikuti prosesi sanggaran dan sujud bersama warga KSD dari beberapa kabupaten di provinsi Lampung inilah saya mendapatkan pengalaman spiritual yang menarik. Bukan, bukan saya jadi kepengen bergabung dengan mereka dan mengimani ajaran KSD. Sebaliknya saya jadi merasa iri sekali pada mereka. Sebelumnya, saya selalu tak acuh pada orang-orang dari agama apa pun yang sedang beribadah, saya hanya sebatas menghargai waktu mereka melangsungkan ibadah, tanpa memberi perhatian yang lebih khusus. Tapi kali ini lain, mungkin karena tersedia waktu yang cukup luang dan intensif bagi saya untuk menyimak keseluruhan prosesi ibadah warga KSD, dan berlangsung selama berkali-kali dalam tempo waktu sekitar 3 bulan. Akhirnya timbullah rasa iri di dalam hati saya.
Iri dalam arti yang positif tentunya. Tak lain dari rasa iri ini timbul setelah melihat kekhusyukan mereka saat melakukan sujud, saat melakukan hening, saat mendengarkan kidung jawa, atau saat saling bertukar refleksi pengalaman hidupnya selama jadi warga KSD. hampir dari semua warga yang saya temui menampakkan rasa keberimanan yang teguh dan teduh. Nyaman sekali rasanya melihat mereka bisa mencapai ketenangan batin setelah beribadah, dan kagum rasanya melihat etos ketekunan dan kesederhanaan hidup yang dilakoni para warga KSD tersebut.
Saya jadi bertanya pada diri sendiri, "Lantas bagaimana caramu beribadah agar bisa menghalau kepenantan dan kegusaran hidup Dam ?"
Hampir setiap pulang ke rumah dari aktivitas mendampingi riset kawan di komunitas warga KSD inilah saya merasa terdorong dengan sendirinya untuk "pulang". Pulang ini maksudnya kembali merenungi pilihan beragama yang selama beberapa tahun terakhir ini saya tekan dan abaikan. Saya mulai kembali mengulang pelajaran caranya melakukan shalat yang benar, saya ulangi hapalan bacaannya yang sudah banyak lupa. Saya hapali lagi beberapa surat pendek yang dulu sering saya andalkan saat shalat, sambil sesekali membacai artinya dalam bahasa Indonesia supaya saya bisa lebih mengerti ketimbang sekedar hapal di mulut.
Rasa iri saya pada warga KSD mulai terjawab, ternyata saya sedang rindu serindu-rindunya, pada Tuhan yang selama ini saya yakini tapi kurang saya perhatikan. Rindu pada ketenangan batin saat lakukan prosesi ibadah sesuai dengan ajaran agama yang pernah saya dapatkan sejak kecil hidup di dunia ini. maka saya pun jadi makin sering dan semangat untuk kembali rutin mendirikan sholat sebagaimana diajarkan agama islam. Tapi semua ini masih merupakan proses awal yang belum berarti apa-apa. Saya masih belum pantas disebut manusia beriman islam secara teguh. Terimakasih warga Sapto Dharmo di Lampung yang telah menginspirasi batin saya.. Salam Waras...!
( Gambar saya saat mengikuti prosesi sanggaran warga KSD lintas kabupaten, Februari 2015 )
( Gambar prosesi hening pembuka, ungkapan syukur pada Tuhan Allah Hyang Maha Esa )
( Gambar prosesi isian sanggaran, sharing refleksi atas ajaran kerokhanian dan pengalaman hidup )