Dicatat oleh : Saddam Cahyo
***
Saya sedang kembali mengingat-ingat pengalaman menarik di beberapa tahun yang sudah lalu, persisnya sekitar januari-februari 2012. Saat itu saya sedang menunaikan kewajiban studi KKN (Kuliah Kerja Nyata) Tematik Universitas Lampung di wilayah Desa Datar Bancong, Kecamatan Kasui, Kabupaten Way Kanan yang mayoritas penduduknya beretnis Ogan (bahasanya melayu).
Desa yang terdiri dari lima dusun ini sangat ramah dan terbuka pada orang luar, tapi untuk menuju kesini jarak tempuhnya memang luar biasa, terhitung sekitar 9 jam perjalanan dari Kota Bandar Lampung. Penduduknya banyak menggantungkan hidup dari pertanian karet rakyat, dalam artian mereka menanam sendiri batang pohon karetnya tanpa memakai perhitungan dan pertimbangan yang detail, maka tak heran kalau pola tanamnya semrawut tak beraturan hingga kualitas pertumbuhannya pun kurang optimal. Kebun karet mereka di perbukitan yang luas itu lebih tampak seperti "hutan karet" ketimbang lahan "kebun karet" yang biasanya terbentang rapih dalam barisan menyerong.
Lepas dari itu semua, kami sekitar 20 orang mahasiswa KKN mendapatkan kesempatan menarik, yakni ketika diajak warga untuk naik ke puncak perbukitan karet dengan perjalanan kaki selama 3 jam kurang lebih. Tujuan utamanya adalah membenahi saluran air dari sumber mata air di puncak sana yang jadi andalan pemasok air bersih bagi ratusan warga lima dusun ini. Metode pengairan mereka pun masih sangat sederhana, tapi cukup adil dan efektif manfaatnya.
Dalam perjalanan turun pulang, Mang Sam salah satu kepala dusun menawarkan pada kami untuk mencoba cicipi buah khas dari hutan karet ini. Tak lain dari sesuatu yang mereka sebut Durian Hutan atau dalam bahasa Ogan mereka sebut Duhian Utan. Pohonnya agak jarang dan katanya sih semakin langka karena sulit ditanam di lahan perkebunan, kebanyakan mereka tumbuh di bibir sungai.
Dengan cukup berani, kawan kami yang bernama Bukit tertantang untuk memanjat itu pohon dan memaksa kawan lainnya untuk ikut repot mengumpulkan buah durian hutan yang dipetiknya dengan susah payah itu. Setelah terkumpul cukup banyak, kami mulai mengerubutinya seperti biasanya terjadi pada orang-orang penasaran dalam melihat hal yang baru di mata.
Buah durian hutan ini agak berbeda dengan durian yang umumnya beredar di pasaran. Ukurannya lebih kecil, hanya sekitar sebesar batok kelapa. Durinya tak sekeras durian pada umumnya, karena lebih menyerupai bulu buah rambutan versi besar. Jadi agak lembut dan aman buat disentuh tangan. corak warnanya juga agak mirip rambutan, yakni hijau kemerah-merahan. Aromanya pun banyak berbeda dari durian umumnya, lebih seperti aroma buah cempedak. Pun dengan bentuk isinya dan rasanya, agak lebih kenyal dan mirip cempedak. Tapi manis dan nikmat juga kok rasanya. Cara membukanya bukan dibelah seperti biasanya durian, tapi dengan cara dipotong golok secara horisontal.
Dan yang penting dicatat adalah buah ini sangat memusingkan ! yap, rata-rata kami makan lebih dari dua buah setiap orang, dan tak lama dari itu kami semua sama-sama alami kondisi "mabuk" durian dengan gejala kepala pusing, mata agak berkunang, dan butuh waktu istirahat tidur-tiduran lebih dari setengah jam untuk kembali pulih melanjutkan perjalanan turun bukit.
Ternyata si durian hutan ini juga tercatat jadi buah eksotis khas pedalaman pulau Kalimantan baik yang sisi negeri Indonesia atau pun yang di bagian Malaysia, mereka biasa menyebutnya dengan sebutan Buah Lahung atau Durian Tayie.
Berikut hasil jepretan saya untuk mengabadikan wujud si buah langka, unik dan memusingkan itu :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar