Dicatat oleh : Saddam Cahyo.
***
Kebetulan, sejak masih SMA saya
sudah punya inisiatif mandiri untuk bisa berlangganan Koran di rumah, setiap
harinya saya ngerasa kecanduan untuk mencari berita-berita yang dianggap
penting, lalu mencoba membuat kliping dan arsip data yang bisa membantu
kebutuhan saya pribadi untuk menulis maupun menganalisa berbagai problem
sosial-politik. Sampe kemudian saya kuliah lah baru uang jajan tidak lagi harus
dipotong demi menabung tagihan rutin Koran per bulan, karena saya juga mulai
aktif menulis opini di Koran local, yang tentunya mendapatkan honor, gak besar
memang, Cuma Rp.150ribu dan ini dua kali lipat dari biaya berlanggan Koran bulanan
yang sebesar Rp.75ribu. Jadi, masih cukuplah sisanya buat tambah-tambahan jajan
bujangan.
Nah, konsekuensi dari niat membuat
arsip data pribadi (yang sebenernya gak juga berhasil sempurna saya lakoni
karena kadang terbentur malas, sibuk, dsb) dari Koran harian itulah,
konsekuensinya bakal ada tumpukan Koran bekas (buat saya itu tetap segar) di
rumah. Beruntung saya difasilitasi satu ruangan khusus untuk menampungnya tanpa
harus membuat risih penghuni rumah yang lain. Tapi tetap saja, setelah sekian
tahun lamanya, dan setelah saya renungi kembali, saya harus meralat keputusan
yang sesungguhnya begitu indah saat itu.
Saya yang sekarang sudah tidak
lagi cukup punya keluangan waktu, tenaga, dan pikiran untuk melakukan
kerja-kerja pengarsipan data yang luar biasa melelahkan itu akhirnya harus
berkompromi dengan keadaan. Yak, lagipula sekarang akses informasi digital
sudah sangat massif, gak sesulit semasa saya SMA dulu. Banyak Koran local yang
sudah memberikan akses e-paper yang tinggal di klik saja kita sudah bisa
membacai kembali semua Koran versi cetak mereka di internet. Semoga kebijakan
ini terus mereka kembangkan ya, biar saya gak menyesal. :D
Akhirnya, saya bulatkan tekad
untuk menyudahi hasrat intelektual iseng yang selama beberapa tahun terakhir
ini saya lakoni. Keputusannya adalah menjual semua tumpukan Koran bekas, ya
bekas, yang sudah amat menggunung dan mulai berdebu itu. Kabarnya Koran yang
disimpan terlalu lama akan berubah karena reaksi kimia yang terkandung dalam
kertas dan tintanya, jadi itu jelas gak juga baik buat kesehatan keluarga di
rumah. Oke, makin banyak alasan yang mendukung.
Kebetulan juga, memang mendiang
ayah saya punya kenalan yang kerja sehari-harinya sebagai tukang rongsok, yang
berkeliling rumah per rumah menanyakan ada tidak barang-barang tak terpakai di
rumah seperti elektronik, plastic, besi, kertas, dsb untuk dia beli. Inilah
sisi “positifnya” dunia modern bin kapitalistik, Dunia adalah pasar raksasa,
segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah komoditas alias bisa dijual dan
menguntungkan. Termasuk sampah yang dianggap sangat tidak berguna sekalipun.
Tapi, jika dikaji lebih jauh
secara makro, sirkulasi barang bekas yang didaur ulang dalam moda industry kapitalistik
juga sesungguhnya tidaklah mulia. Karena motif utama kapitalisme yang hanya
berpikir pokoknya semua bisa gua olah, gua jual, dan bikin gua untung segede
mungkin. Nah, prinsip inilah yang seringkali membuat si pengusaha / produsen
produk daur ulang kerap mengabaikan resiko kerusakan lingkungan alam maupun
kesehatan manusia saat berproduksi dan memasarkan, karena keburu gila dengan
pikiran melipatgandakan keuntungan.
Nah, oke cukup dulu soal
kapitalismenya. Kembali ke dunia mikro yang saya hadapi sekarang ini. Pertama, adalah
ini tumpukan Koran bekas sudah gak lagi punya nilai guna yang cukup penting
untuk dipertahankan. Kedua, sadar juga kalau ini barang kudu disingkirkan biar
gak malah membawa dampak buruk bagi kesehatan keluarga yang malah bikin rugi
berlipatganda. Ketiga, mumpung ada itu moda kerja orang lain yang suka membeli
barang bekas gak berguna, ini sangat membantu, saya gak perlu repot ngangkat
dan mikir kudu dibuang kemana, ato malah repot kudu ngebakar dan bikin polusu
udara, dan malah dapat uang tambahan yang gak disangka-sangka.
Yap, yang terakhir ini sebenarnya
topic postingan saya. Meski uang yang dihasilkan dari menjual Koran bekas ini
gak bakal sebanding dengan total biaya berlangganan Koran saya selama
bertahun-tahun, tapi setidaknya ini tetap sangat member manfaat buat saya yang
sedang butuh uang, Hehehe.
Dari total semuanya, akhirnya
terhitunglah bahwa berat tumpukan Koran saya itu 178 Kg, sementara harga per
kilogramnya dikasih Rp.1400,- Sebenarnya
saya agak kurang puas, karena sewaktu si abang tukang rongsokannya sibuk
ngiketin tumpukan Koran dan ngangkutin keluar rumah, saya sempet mencuri
kesempatan ngecek itu alat penimbang tangan yang dia bawa. Yak, seperti saya
duga, itu timbangan udah dibongkar dan dibuat sengaja gak normal, biar bisa
mengurangi berat yang sesungguhnya. Tapi yasudahlah, toh itungannya saya bukan
sedang benar-benar berbisnis, anggap saja sembari bersedekah, dan saya doakan
itu si abang timbul niat beli alat penimbang yang baru dan berbisnis
sejujur-jujurnya meski kapitalisme memang sengaja membuat manusia saling
berlomba menikam satusama lain demi mencari selamat dan kenyamanan tanpa batas.
Eh, keceplosan lagi soal
kapitalisme. Oke, akhirnya doi bilang harganya adalah Rp. 249.200,- lumayan,
dan saya minta dia bayar pas saja 250rb biar sama-sama enak, toh dia sepakat,
dan transaksi lancar selesai. Selamat mencoba dan menuai manfaat.. J
Yang punya kertas aspek atau koran bekas, dalam skala besar bisa hubungi saya harga bisa nego rohmanferdi830@gmail.com
BalasHapus