Rabu, 09 September 2015

Jalan Darat Lampung Ke Bandung? Pikir Ulang Deh

Dicatat oleh: Saddam Cahyo
***

Sebentar, postingan ini bukan untuk menyerukan agar sebaiknya kalian pakai jalur udara untuk ke Bandung dari Lampung. Soalnya itu diluar kemampuan saya saat ini, maklum ongkos pesawat trayek Lampung-Bandung itu mahal dan gak jarang transit Jakarta bisa berjam-jam, yang jelas menggugurkan harapan bisa sampai secepat kilat.

Dari situs TRAVELOKA malah harga tiket rute ini ditawarkan mencapai lebih dari Rp.2jt dan waktu ditempuhnya juga tetap 12 jam karena berkali kali transit, lampung-jakarta-surabaya-bandung. Sungguh pilihan yang konyol jika dalam keadaan normal. Tapi terserah juga sih.

Jalur Darat, izinkan saya menyitir adagium klasik, "Ada ribuan jalan menuju Bandung" hehehe. Ya benar, termasuk jika anda mau lakukan perjalanan dari Lampung menuju Bandung memang ada begitu banyak pilihannya, tergantung pada kemampuan kantong, kebutuhan dan situasi yang anda hadapi sekalian.

Pertama, naik mobil pribadi, jika dalam nuansa liburan sekeluarga sih ini paling asyik, biayanya gak jauh beda tapi lebih fleksibel dan bisa mampir sesukanya.

Kedua, naik motor pribadi, mending lakukan ini hanya kalau ada kesempatan konvoi bersama teman. Biar lelah malah berganti seru. Rutenya beda dengan mobil yang bisa potong jalur masuk TOL, motor mah kudu muterin jalur bukit di puncak sampai Cianjur.

Ketiga, naik jasa transportasi bis langsung, yang paling asyik ya naik DAMRI. Tiket dan pemberangkatan ada di kantor cabang DAMRI yang ada di Stasiun Kereta Api Tanjung Karang. Lokasinya ditengah kota,jadi aksesnya gampang dan aman. Keberangkatan hanya ada malam hari antara jam 20.00/21.00 Wib dan perkiraan sampai ke kota bandung pagi hari, antara subuh atau saat terang matahari. Ada tiga jenis pilihan bus, BISNIS 190ribu, EKSEKUTIF 230ribu, ROYALCLASS 270ribu. Yang terakhir ini paling nyaman karena setting kursinya 2-1.

Keempat, adalah yang biasanya disebut NGECER / NGETENG / PUTUS-PUTUS dan sebagainya. Intinya adalah kita harus lebih bekerja keras karena naik-turun moda angkutan.

Nah... disinilah maksud utama dari judul postingan kali ini. Dahulu memilih cara ini sangatlah solutif bagi mereka yang ingin lebih hemat, karena selisihnya bisa mencapai separuh dari ongkos bus langsung. Sedangkan di zaman sekarang, sebaiknya anda pikir ulang dulu aja deh.

Kecuali jika anda memang sedang menghadapi situasi khusus seperti saya yang mendadak dapat kabar duka wafatnya eyang putri jam 02.00 Wib. Sehingga harus berangkat saat itu juga, sedangkan jam pemberangkatan bus langsung sudah lewat. Tak ada pilihan lain lagi selain gugup terburu buru.

Atau jika anda memang ingin mengincar view lautan selat sunda yang ciamik di siang hari. Ya, perjalanan di waktu hari terang memang indah. Mulai dari suasana pelabuhan, proses merapatnya kapal, aktifitas nelayan lokal, pulau pulau kecil, kapal kapal parkir, hingga bocah bocah pelabuhan yang tak punya keraguan meloncat ke lautan demi uang recehan yang penumpang lemparkan.




Kembali ke pokok masalah, yakni pengalaman teranyar saya menempuh perjalanan darat. Ternyata tidak lagi seperti yang saya bayangkan, boleh dibilang malah gagal dan bikin "kapok" deh. Begini runutan pengalamannya :

Sekitar jam 07.00 Wib saya sudah sampai di Terminal Rajabasa untuk menumpang bus ac yang menuju ke Pelabuhan Bakauheni. Sayangnya saya sudah ketinggalan bus pertama, dan harus menerima bus kedua yang baru bergerak berangkat jam 08.45 Wib. Ongkosnya Rp.30ribu dan baru sampai pada jam 11.30 dengan kondisi jalan yang baik dan lancar.

Ada banyak perubahan di pelabuhan yang menjadi pintu gerbang pulau Sumatera ini. Pertama, soal tampilannya yang lebih modern, pintu kaca otomatis, dilayani petugas muda dan cantik. Kedua, kapal cepat yang cuma butuh waktu tempuh sekitar 45 menit dengan ongkos tiga kali lipat kapal besar sudah tidak beroperasi lagi. Kabarnya lantaran merugi setelah makin majunya layanan bis langsung dan travel lintas pulau yang gak perlu repot naik-turun lagi.

Jatuhlah hanya pada pilihan naik kapal roro/ferry seharga Rp.15ribu. Suasana di kapal pun sepertinya semakin tampak membaik, tidak tampak bobrok seadanya seperti dulu, ya meski tetap gak bisa nutupi fakta kalau usianya sudah senja, rerata produk tahun 70an. Kapal baru bergerak maju jam 12.10 dr sampai jam 14.30 ini terbilang lancar.
Sampai di Pelabuhan Merak, saya harus berjalan kaki cukup jauh menuju terminal bus yang baru. Ini sangat menyiksa bagi penumpang yang sudah tua, sedang sakit, atau membawa banyak barang dan anak kecil. Entahlah kenapa dibuat seperti ini.

Suasana terminal cukup aman, saya memilih bus jurusan bandung yang ada di barisan terdepan. Arimbi seharga Rp.90ribu, tapi saya harus rela bersabar. 
Bus ini baru berangkat jam 15.25 dan itupun dilengkapi paket ngetem gila gilaan yang dilakukan berkali kali sepanjang jalan raya merak, cilegon, serang, hingga tangerang. Pfiuuh.. baru kemudian bus melaju kencang sebagaimana diharapkan.
Saya tiba di Terminal Leuwipanjang sekitar jam 23.15, tapi suasana kota Bandung memang sudah tidak sedingin dahulu. Karena sampai kemalaman, saya tidak bisa naik bus DAMRI dalam kota trayek terminal Ledeng. Sehingga pilihannya adalah naik angkot. Saya lupa trayek mana, pokoknya cari yang menuju terminal Kebonkelapa ongkosnya Rp. 5ribu, lalu naik angkot tujuan terminal Ledeng seharga sama. Untungnya di kota ini angkot masih beroperasi nyaris 24 jam.
Dari situ saya lanjutkan naik angkot menuju Lembang, dan naik ojek sampai di rumah nenek. Sekitar jam 12.45 saya tiba. Jadi kalau mau dihitung biaya yang saya habiskan untuk perjalanan dengan cara ini adalah :
Bis bakau 30000+Kapal 15000 +Arimbi 90000+ Angkot Kelapa5000 +Angkot Ledeng 5000 +Angkot Lembang5000 +ojek5000 +Jajan pop mie,tahu,minum, permen 25000 = TOTAL Rp.180ribu...

Jadi Pfiuuh.. pikir ulang deh..!












Senin, 07 September 2015

Geraham Bungsu , Kemanjaan Gigi Yang Berbahaya

Dicatat oleh : Saddam Cahyo
***

Semua pasti tahu, ya kalau tidak, sebagian besar oranglah yang tahu apa itu geraham bungsu. Postingan saya kali ini mungkin sekedar curcol sama seperti sebelum-sebelumnya, tapi saya berharap meski ditulis hanya berdsarkan pengalaman pribadi, bukan riset ilmiah, semoga tidak terlalu buruk sampai sekedar menjadi sampah literer yang mengotori arsip digital dunia. :D

Sebagaimana normalnya gigi manusia sering dikatakan berjumlah 33 buah, terdiri dari gigi geraham, gigi taring, gigi depan, yang masing-masing berjumlah dua pasang / empat buah memenuhi setiap sudut rahang. Nah, bagi orang yang sudah mulai masuk tahap usia dewasa, memang banyak perubahan fisik yang terjadi menunjukkan kematangan setiap organ tubuhnya. Termasuk soal gigi, di rentang usia 18 hingga 30 tahun biasanya akan bertumbuhan apa yang disebut geraham bungsu itu.

Seperti julukannya, ia adalah gigi geraham yang tumbuh paling terlambat, hanya saat kita sudah dewasa, berbeda dengan semua struktur gigi yang sejak masa balita sudah mulai bertumbuh di mulut kita. Gigi ini berada di posisi gusi paling belakang, mentok sekali. Bagi yang belum bertumbuh, coba dicek ulang, dilihat pakai cermin apakah itu masih ada ruang gusi yang kosong di barisan paling pojok gigi kita, sedikit saja tampak ada ruang kosong itu berarti anda harus bersiap, barangkala si geraham bungsu bakalan timbul.

Kenapa seserius ini kita ngomongin si geraham bungsu ? karena dia bukan gigi tumbuh yang boleh disepelekan, meski kadang juga dia sangat sepele sih. Begini, secara awam bisa kita jelaskan bahwa proses bertumbuhnya si geraham bungsu ini adalah dengan cara mendesak naik ke atas perlahan-lahan, dia bakal terus mendesak mencari ruang gusi yang masih ada celah kosongnya di ujung rahang sampai akhirnya tumbuh sempurna. Proses naiknya si gigi ke permukaan ini membuat ia harus memaksa gusi yang sudah bertahun-tahun kosong dan mengeras itu member ruang, satu-satunya cara adalah dengan merobeknya dari dalam, nah itu membuat si gusi meradang, dan bagi kita akan terasa sangat sakiiiit sekali. 

Nah karena prosesnya yang lambat, gak sekali jadi, bahkan bisa berbulan-bulan, atau menahun baru sukses tumbuh sempurna itu jugalah kenapa si geraham bungsu ini gak sepele. Itu berarti sepanjang doi belum kelar bertumbuh, selalu ada bahaya laten sakit gigi yang mengancam kenyamanan hidup sehari-hari bagi kita. Jangan lupa, kalau kita punya empat sudut ruang gusi yang masih kosong, itu juga berarti kemungkinan besar bakal ada empat geraham bungsu yang siap menyuguhkan sensasi cenut-cenut selama beberapa tahun hidup anda. Tapi tenang, sakitnya gak tiap saat, cuma kalau lagi aktif berproses aja kok, Cuma ya nggak jarang bisa berlangsung selama semingguan. :P

Tak hanya itu, kehadiran si geraham bungsu, terutama jika sudah ada di dua sudut rahang, membawa konsekuensi logis bagi terjadinya proses restrukturisasi formasi gigi yang selama ini sudah dianggap mapan. Nah, ini dia yang kadang sangat beresiko terjadinya saraf kejepit.

Ini yang buat saya sih paling meneror.. kenapa? Karena kabarnya, ini pengalaman kawan baik saya, selama enam bulan dia sering sakit ngilu banget di ujung gerahamnya, dia gak sadar ini sakit apa, udah pake segala obat sakit gigi tetep gak ampuh, tiap malem dan kalo udara dingin sakitnya makin cenut minta ampun.. malah dia juga kadang harus terpaksa ngunyah makanan pakai separuh rahang karena yang sebelahnya sama sekali gak bisa dipakai ngunyah  dan tertekan. Akhirnya dia datangi itu dokter spesialis gigi, dan disimpulkan kalau pertumbuhan geraham bungsunya telah menjepit saraf dan solusinya Cuma dengan pencabutan itu si gigi yang baru mau tumbuh. Biaya operasi kecilnya sekitar 4-5 jutaan, dan proses penyembuhannya sekitar sebulan deh baru lega. Menyiksa kan ?

Syukur Alhamdulillah nya saya, meski sekitar tujuh tahun lamanya baru selesai itu proses pertumbuhan empat geraham bungsu, tidak ada sampai terjadi saraf terjepit, meski sumpah gak jarang juga kalau lagi aktif tumbuh, rasa sakitnya bisa bikin pusing dan labil emosi selama semingguan, ngerjain apa aja jadi gak focus dan gak nyaman.

Katanya sih itu karena bentuk rahang saya yang cukup lebar, sehingga ruang gusi yang kosong tidak terlalu sempit dan membuat si geraham bungsu harus maksa mendorong struktur gigi pendahulunya. Bentuk rahang yang agak lebar bisa memudahkan proses pertumbuhan, ya kalau sakit sih namanya juga gusi robek dan meradang, atasi aja pakai obat penghilang nyeri kayak PONSTAN, dan bersabar saja ini gak bisa diatasi, tungguin aja, namanya juga tumbuh gigi, rajin-rajin aja sikat gigi dan jaga pola makannya jangan yang bikin nyangkut.

Masalahnya adalah bagi yang bentuk rahangnya memang mungil kayak temen saya itu, resiko terbesarnya ya kejepit tadi sarafnya.. antisipasinya ya dicabut dengan biaya lumayan tadi juga.. Hmm.. tapi gak semua kasus rahang kecil bakal ngalamin itu kok, banyak yang beruntung juga. Ada dokter gigi yang sewaktu kami konsultasi ngasih saran dan penjelasan kalau sebenarnya si geraham bungsu bisa dicegah biar nggak tumbuh saat kita dewasa, yaitu dengan membiasakan anak-anak dan remaja untuk sering makan makanan yang agak keras, sehingga memaksa kita untuk rajin mengunyah, artinya rajin melatih otot mulut, dan gigi untuk bekerja lebih giat, gak males-malesan tinggal nelen. Tapi jangan juga sampai kita maksain anak dan remaja untuk makan benda keras terus-terusan sampai malah beresiko giginya patah atau rusak sompal, itu malah bikin perkara baru.

Sebenarnya cukup dengan rajin mengunyah, jangan malas! Itu kenapa, saran para leluhur untuk mengunyah makanan sebanyak mungkin sebelum kita menelannya tidak boleh diabaikan. Dengan begitu kita seolah memberikan sinyal informasi kepada otak untuk mengabarkan bahwa kondisi gigi kita sudah oke kok, kuat dan cukup, jadi udah deh gak usah dikirim itu pasokan gigi geraham bungsu. Maka jadilah mereka batal nongol ketika si anak tumbuh dewasa, dan selamatlah ia dari potensi penderitaan.

Konon kabarnya, ini berkaitan langsung dengan kisah evolusi manusia. Bahwa fenomena bertumbuhnya gigi geraham bungsu itu adalah strategi evolusi tubuh manusia untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Karena di masa lalu, manusia masih memakai pola makan yang sangat berbeda dengan sekarang, yaitu memakan makanan yang kadang mentah atau juga keras, itu karena manusia masih mengandalkan alam secara langsung untuk memenuhi kebutuhan makannya, teknologi memasak pun mungkin belum ditemukan, atau malah masih sangat primitive karena baru mengenal cara membuat api. Sehingga tingkat kematangan dan keempukan semua makanan yang dikonsumsinya belum seperti zaman ini, yang malah bisa dikatakan terlalu lembut semuanya, bikin gigi kita jadi malas-malasan.

Nah, di masa itu, ketika semua makanan masih sangat menuntut manusia untuk mengunyah secara ekstra, sering sekali terjadi kecelakaan seperti patah gigi, sompal gigi, hingga tercabutnya gigi, terutama pada gigi geraham yang paling diandalkan untuk mengunyah makanan. Untuk itulah si geraham bungsu mengemban tugas mulianya, yaitu sebagai gigi serep, alias cadangan untuk menggantikan gigi-gigi geraham pendahulunya yang pada berguguran. Sehingga manusia tidak mengalami penderitaan karena ompong, itu berkat si geraham bungsu yang hadir bak pahlawan menggantikan peran para pendahulunya tadi.

Tapi, kini zaman sudah berubah, itu semua terjadi ribuan tahun yang lalu. Hanya saja persoalannya proses evolusi kita sebagai manusia modern pun belum tuntas, itu karena memang katanya proses evolusi itu berlangsung selama ratusan atau jutaan tahun lamanya, jadi sabar saja. Sudah jadi konsekuensi logis bagi kita manusia modern untuk menerima kenyataan itu, tapi bukan berarti pasrah, kita punya akal dan kapasitas untuk mendorong laju perkembangan peradaban, maka rajin-rajinlah menganjurkan setiap anak dan remaja untuk tidak malas mengunyah…!


Minggu, 06 September 2015

Punya Tumpukan Koran Bekas? Dirongsokin Aja

Dicatat oleh : Saddam Cahyo.
***

Kebetulan, sejak masih SMA saya sudah punya inisiatif mandiri untuk bisa berlangganan Koran di rumah, setiap harinya saya ngerasa kecanduan untuk mencari berita-berita yang dianggap penting, lalu mencoba membuat kliping dan arsip data yang bisa membantu kebutuhan saya pribadi untuk menulis maupun menganalisa berbagai problem sosial-politik. Sampe kemudian saya kuliah lah baru uang jajan tidak lagi harus dipotong demi menabung tagihan rutin Koran per bulan, karena saya juga mulai aktif menulis opini di Koran local, yang tentunya mendapatkan honor, gak besar memang, Cuma Rp.150ribu dan ini dua kali lipat dari biaya berlanggan Koran bulanan yang sebesar Rp.75ribu. Jadi, masih cukuplah sisanya buat tambah-tambahan jajan bujangan.

Nah, konsekuensi dari niat membuat arsip data pribadi (yang sebenernya gak juga berhasil sempurna saya lakoni karena kadang terbentur malas, sibuk, dsb) dari Koran harian itulah, konsekuensinya bakal ada tumpukan Koran bekas (buat saya itu tetap segar) di rumah. Beruntung saya difasilitasi satu ruangan khusus untuk menampungnya tanpa harus membuat risih penghuni rumah yang lain. Tapi tetap saja, setelah sekian tahun lamanya, dan setelah saya renungi kembali, saya harus meralat keputusan yang sesungguhnya begitu indah saat itu.

Saya yang sekarang sudah tidak lagi cukup punya keluangan waktu, tenaga, dan pikiran untuk melakukan kerja-kerja pengarsipan data yang luar biasa melelahkan itu akhirnya harus berkompromi dengan keadaan. Yak, lagipula sekarang akses informasi digital sudah sangat massif, gak sesulit semasa saya SMA dulu. Banyak Koran local yang sudah memberikan akses e-paper yang tinggal di klik saja kita sudah bisa membacai kembali semua Koran versi cetak mereka di internet. Semoga kebijakan ini terus mereka kembangkan ya, biar saya gak menyesal. :D

Akhirnya, saya bulatkan tekad untuk menyudahi hasrat intelektual iseng yang selama beberapa tahun terakhir ini saya lakoni. Keputusannya adalah menjual semua tumpukan Koran bekas, ya bekas, yang sudah amat menggunung dan mulai berdebu itu. Kabarnya Koran yang disimpan terlalu lama akan berubah karena reaksi kimia yang terkandung dalam kertas dan tintanya, jadi itu jelas gak juga baik buat kesehatan keluarga di rumah. Oke, makin banyak alasan yang mendukung.

Kebetulan juga, memang mendiang ayah saya punya kenalan yang kerja sehari-harinya sebagai tukang rongsok, yang berkeliling rumah per rumah menanyakan ada tidak barang-barang tak terpakai di rumah seperti elektronik, plastic, besi, kertas, dsb untuk dia beli. Inilah sisi “positifnya” dunia modern bin kapitalistik, Dunia adalah pasar raksasa, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah komoditas alias bisa dijual dan menguntungkan. Termasuk sampah yang dianggap sangat tidak berguna sekalipun.

Tapi, jika dikaji lebih jauh secara makro, sirkulasi barang bekas yang didaur ulang dalam moda industry kapitalistik juga sesungguhnya tidaklah mulia. Karena motif utama kapitalisme yang hanya berpikir pokoknya semua bisa gua olah, gua jual, dan bikin gua untung segede mungkin. Nah, prinsip inilah yang seringkali membuat si pengusaha / produsen produk daur ulang kerap mengabaikan resiko kerusakan lingkungan alam maupun kesehatan manusia saat berproduksi dan memasarkan, karena keburu gila dengan pikiran melipatgandakan keuntungan.

Nah, oke cukup dulu soal kapitalismenya. Kembali ke dunia mikro yang saya hadapi sekarang ini. Pertama, adalah ini tumpukan Koran bekas sudah gak lagi punya nilai guna yang cukup penting untuk dipertahankan. Kedua, sadar juga kalau ini barang kudu disingkirkan biar gak malah membawa dampak buruk bagi kesehatan keluarga yang malah bikin rugi berlipatganda. Ketiga, mumpung ada itu moda kerja orang lain yang suka membeli barang bekas gak berguna, ini sangat membantu, saya gak perlu repot ngangkat dan mikir kudu dibuang kemana, ato malah repot kudu ngebakar dan bikin polusu udara, dan malah dapat uang tambahan yang gak disangka-sangka.

Yap, yang terakhir ini sebenarnya topic postingan saya. Meski uang yang dihasilkan dari menjual Koran bekas ini gak bakal sebanding dengan total biaya berlangganan Koran saya selama bertahun-tahun, tapi setidaknya ini tetap sangat member manfaat buat saya yang sedang butuh uang, Hehehe.

Dari total semuanya, akhirnya terhitunglah bahwa berat tumpukan Koran saya itu 178 Kg, sementara harga per kilogramnya dikasih Rp.1400,-  Sebenarnya saya agak kurang puas, karena sewaktu si abang tukang rongsokannya sibuk ngiketin tumpukan Koran dan ngangkutin keluar rumah, saya sempet mencuri kesempatan ngecek itu alat penimbang tangan yang dia bawa. Yak, seperti saya duga, itu timbangan udah dibongkar dan dibuat sengaja gak normal, biar bisa mengurangi berat yang sesungguhnya. Tapi yasudahlah, toh itungannya saya bukan sedang benar-benar berbisnis, anggap saja sembari bersedekah, dan saya doakan itu si abang timbul niat beli alat penimbang yang baru dan berbisnis sejujur-jujurnya meski kapitalisme memang sengaja membuat manusia saling berlomba menikam satusama lain demi mencari selamat dan kenyamanan tanpa batas.


Eh, keceplosan lagi soal kapitalisme. Oke, akhirnya doi bilang harganya adalah Rp. 249.200,- lumayan, dan saya minta dia bayar pas saja 250rb biar sama-sama enak, toh dia sepakat, dan transaksi lancar selesai. Selamat mencoba dan menuai manfaat.. J