Minggu, 06 September 2015

Punya Tumpukan Koran Bekas? Dirongsokin Aja

Dicatat oleh : Saddam Cahyo.
***

Kebetulan, sejak masih SMA saya sudah punya inisiatif mandiri untuk bisa berlangganan Koran di rumah, setiap harinya saya ngerasa kecanduan untuk mencari berita-berita yang dianggap penting, lalu mencoba membuat kliping dan arsip data yang bisa membantu kebutuhan saya pribadi untuk menulis maupun menganalisa berbagai problem sosial-politik. Sampe kemudian saya kuliah lah baru uang jajan tidak lagi harus dipotong demi menabung tagihan rutin Koran per bulan, karena saya juga mulai aktif menulis opini di Koran local, yang tentunya mendapatkan honor, gak besar memang, Cuma Rp.150ribu dan ini dua kali lipat dari biaya berlanggan Koran bulanan yang sebesar Rp.75ribu. Jadi, masih cukuplah sisanya buat tambah-tambahan jajan bujangan.

Nah, konsekuensi dari niat membuat arsip data pribadi (yang sebenernya gak juga berhasil sempurna saya lakoni karena kadang terbentur malas, sibuk, dsb) dari Koran harian itulah, konsekuensinya bakal ada tumpukan Koran bekas (buat saya itu tetap segar) di rumah. Beruntung saya difasilitasi satu ruangan khusus untuk menampungnya tanpa harus membuat risih penghuni rumah yang lain. Tapi tetap saja, setelah sekian tahun lamanya, dan setelah saya renungi kembali, saya harus meralat keputusan yang sesungguhnya begitu indah saat itu.

Saya yang sekarang sudah tidak lagi cukup punya keluangan waktu, tenaga, dan pikiran untuk melakukan kerja-kerja pengarsipan data yang luar biasa melelahkan itu akhirnya harus berkompromi dengan keadaan. Yak, lagipula sekarang akses informasi digital sudah sangat massif, gak sesulit semasa saya SMA dulu. Banyak Koran local yang sudah memberikan akses e-paper yang tinggal di klik saja kita sudah bisa membacai kembali semua Koran versi cetak mereka di internet. Semoga kebijakan ini terus mereka kembangkan ya, biar saya gak menyesal. :D

Akhirnya, saya bulatkan tekad untuk menyudahi hasrat intelektual iseng yang selama beberapa tahun terakhir ini saya lakoni. Keputusannya adalah menjual semua tumpukan Koran bekas, ya bekas, yang sudah amat menggunung dan mulai berdebu itu. Kabarnya Koran yang disimpan terlalu lama akan berubah karena reaksi kimia yang terkandung dalam kertas dan tintanya, jadi itu jelas gak juga baik buat kesehatan keluarga di rumah. Oke, makin banyak alasan yang mendukung.

Kebetulan juga, memang mendiang ayah saya punya kenalan yang kerja sehari-harinya sebagai tukang rongsok, yang berkeliling rumah per rumah menanyakan ada tidak barang-barang tak terpakai di rumah seperti elektronik, plastic, besi, kertas, dsb untuk dia beli. Inilah sisi “positifnya” dunia modern bin kapitalistik, Dunia adalah pasar raksasa, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah komoditas alias bisa dijual dan menguntungkan. Termasuk sampah yang dianggap sangat tidak berguna sekalipun.

Tapi, jika dikaji lebih jauh secara makro, sirkulasi barang bekas yang didaur ulang dalam moda industry kapitalistik juga sesungguhnya tidaklah mulia. Karena motif utama kapitalisme yang hanya berpikir pokoknya semua bisa gua olah, gua jual, dan bikin gua untung segede mungkin. Nah, prinsip inilah yang seringkali membuat si pengusaha / produsen produk daur ulang kerap mengabaikan resiko kerusakan lingkungan alam maupun kesehatan manusia saat berproduksi dan memasarkan, karena keburu gila dengan pikiran melipatgandakan keuntungan.

Nah, oke cukup dulu soal kapitalismenya. Kembali ke dunia mikro yang saya hadapi sekarang ini. Pertama, adalah ini tumpukan Koran bekas sudah gak lagi punya nilai guna yang cukup penting untuk dipertahankan. Kedua, sadar juga kalau ini barang kudu disingkirkan biar gak malah membawa dampak buruk bagi kesehatan keluarga yang malah bikin rugi berlipatganda. Ketiga, mumpung ada itu moda kerja orang lain yang suka membeli barang bekas gak berguna, ini sangat membantu, saya gak perlu repot ngangkat dan mikir kudu dibuang kemana, ato malah repot kudu ngebakar dan bikin polusu udara, dan malah dapat uang tambahan yang gak disangka-sangka.

Yap, yang terakhir ini sebenarnya topic postingan saya. Meski uang yang dihasilkan dari menjual Koran bekas ini gak bakal sebanding dengan total biaya berlangganan Koran saya selama bertahun-tahun, tapi setidaknya ini tetap sangat member manfaat buat saya yang sedang butuh uang, Hehehe.

Dari total semuanya, akhirnya terhitunglah bahwa berat tumpukan Koran saya itu 178 Kg, sementara harga per kilogramnya dikasih Rp.1400,-  Sebenarnya saya agak kurang puas, karena sewaktu si abang tukang rongsokannya sibuk ngiketin tumpukan Koran dan ngangkutin keluar rumah, saya sempet mencuri kesempatan ngecek itu alat penimbang tangan yang dia bawa. Yak, seperti saya duga, itu timbangan udah dibongkar dan dibuat sengaja gak normal, biar bisa mengurangi berat yang sesungguhnya. Tapi yasudahlah, toh itungannya saya bukan sedang benar-benar berbisnis, anggap saja sembari bersedekah, dan saya doakan itu si abang timbul niat beli alat penimbang yang baru dan berbisnis sejujur-jujurnya meski kapitalisme memang sengaja membuat manusia saling berlomba menikam satusama lain demi mencari selamat dan kenyamanan tanpa batas.


Eh, keceplosan lagi soal kapitalisme. Oke, akhirnya doi bilang harganya adalah Rp. 249.200,- lumayan, dan saya minta dia bayar pas saja 250rb biar sama-sama enak, toh dia sepakat, dan transaksi lancar selesai. Selamat mencoba dan menuai manfaat.. J


1 komentar:

  1. Yang punya kertas aspek atau koran bekas, dalam skala besar bisa hubungi saya harga bisa nego rohmanferdi830@gmail.com

    BalasHapus