Kamis, 15 Oktober 2015

Membuat Sendiri Pancuran Air Wudhu Sederhana

***
Sebagaimana yang telah diketahui oleh setiap umat muslim di dunia ini, bahwasanya prosesi mengambil air wudhu atau mensucikan diri sebelum melaksanakan ibadah shalat adalah wajib hukumnya. Sangat dianjurkan untuk melakukannya di air yang mengalir, terutama jika tidak tersedia pasokan air tak mengalir sejumlah 2 kullah alias sekitar 216 liter.

Tentu saja untuk hitungan rumah tangga, air sebanyak itu tidak mungkin kita sediakan, sementara mengambil wudhu dengan menggayung air pun rasanya masih kurang nyaman. Beruntung jika kita punya rumah lengkap dengan fasilitas air keran yang sedia setiap saat. Tapi jika tidak, ini harus disiasati.

Zaman dahulu, orang sering menggunakan wadah kendi tanah liat yang ditaruh dekat sumur, khusus sebagai tempat berwudhu. Tapi sekarang ini, mencari jualan kendinya saja sudah susah. Akhirnya saya diberi saran untuk memakai ember plastik bekas cat tembok saja. Ide ini menarik sekali, dan akhirnya saya coba buat sendiri.

Kebetulan saya punya ember bekas cat, dan segera saya bersihkan baik bagian dalam maupun luarnya hingga tampak putih bersih. lalu, di bagian bawahnya saya lubangi tidak dengan besi yang dipanaskan, karena kabarnya itu bisa menimbulkan kerusakan lubangnya melebar dan embernya meleleh jika kurang pandai.

Akhirnya saya pakai pisau dapur yang ujungnya tajam, saya putar layaknya sebuah bor sampai menghasilkan lubang yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan saya, yaitu sekitar seujung kuku jari kelingking saja. Setelah itu, saya mengambil cat kayu warna hitam dan sebuah kuas untuk membuat aksen tulisan "WUDHU" sekedar sebagai penanda, terutama bagi tamu yang baru pertama kali datang dan menumpang shalat di rumah. Karena bekas embernya masih punya tali untuk mengangkat air, saya jadi lebih mudah untuk menaruhnya di kamar mandi, cukup dengan memasang paku cantolannya saja.

Berikut gambarnya :


Rabu, 14 Oktober 2015

Menyiasati Kebutuhan Pasir Saat Kepepet Renovasi Bangunan

***
Saat memutuskan untuk segera merenovasi kamar dengan menjebol pintu tembusan ke ruang tamu kemarin, tentu saya harus kembali memutar otak untuk bagaimana caranya bisa mendapatkan stok pasir yang mencukupi kebutuhan plesteran temboknya. Tapi sayang berhubung saya sedang bokek, dan juga kebutuhannya tidak terlalu besar jumlahnnya, saya terdorong untuk mencari solusi yang nyeleneh tapi bener.

Pertama, saya memanfaatkan pasir-pasir yang kerap tampak berceceran di jalanan. Ini biasanya tertumpuk di sisi jalan yang lekung karena terbawa oleh aliran air di kala hujan. Biasanya pasir-pasir ini berasal dari sisa bangunan orang lain, yang tentu sudah tidak lagi dihitung pemakaiannya, alias terbuang. Dengan begitu, tidaklah salah jika kita mengumpulkannya sedikit-sedikit untuk dipergunakan sesuai kebutuhan.

Dan ternyata kalau telaten dan rajin, kita bisa memperoleh hasil yang banyak. Tapi kemarin saya masih malu-malu, hanya mengandalkan tumpukan pasir jalanan di sekitar rumah saja, toh kebutuhan plesteran saya juga tidak terlalu besar. Pasir saya serok pakai sendok semen dan ditampung ke wadah seperti ember, hasilnya saya bisa dapat tiga kali terisi penuh. Berikut contohnya:





Selain itu, karena kebutuhannya ternyata masih tak tercukupi, sedangkan saya sudah lelah jika masih harus mencari pasir di luar sekitaran rumah. Saya dapat ide untuk menggunakan runtuhan tembok yang sebelumnya saya hasilkan. Dari reruntuhan itu saya perhatikan, ada bagian plesteran yang dulunya merekatkan batu bata, bukankah bahan dasar utamanya adalah juga pasir. Akhirnya saya rendam di air selama beberapa waktu, lalu saya tumbuk, dan saya saring untuk menghasilkan pasir yang malah lebih lembut tekstrunya. Dari sini saya dapatkan sekitar dua kantong ember pasir, tapi prosesnya memang agak lambat dan melelahkan, hanya di kala kepepet saja ini dijadikan pilihan.






Tapi ternyata, karena saya bukan kuli profesional, saya gagal memperkirakan kebutuhan pasirnya. Akhirnya saya putuskan untuk datang ke pangkalan pasir yang ada di lingkungan sekitar. Saya lobi dengan mereka untuk diizinkan membeli pasir dalam jumlah yang sedikit, saya bawa karung sendiri dan siap mengangkutnya sendiri pakai motor. Akhirnya kami sepakat untuk menghargai sekarung pasir Rp.10ribu, dan saya putuskan untuk membeli tiga karung saja. Itu pun sudah sangat lebih dari mencukupi kekurangan bahan saya, sisanya disimpan dalam karung untuk jaga-jaga adanya kebutuhan di masa yang akan datang.